logo

on . Hits: 1946

Tradisi Kawin Gantung Dalam Perkawinan Adat di Jawa Barat Dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam

Oleh : Aman

Wakil Ketua Pengadilan Agama Cibadak Kelas IA

smool.jpg.

  1. A.PENDAHULUAN

Agama Islam sebagai rahmatan lil alamaiin (Way Of Live) adalah agama sempurna yang diciptakan Allah SWT untuk kita manusia sebagai umatnya yang mampu memberikan jawaban terhadap seluruh persoalan hidup manusia dari kelahiran, Perkawinan hingga persoalan kematian, Al-Qur’an yang Allah SWT turunkan melaului Nabi Muhammad saw sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia untuk meraih keselamatan hidup bukan hanya didunia tetapi juga di akherat. Allah swt menciptakan manusia laki laki dan perempuan, bersuku suku, berbangsa bangsa untuk saling mengenal, saling berinteraksi, saling berkomunikasi agar tercipta suatu komunitas yang memiliki karya dan karsa serta mengembangkan budaya nya dimasing masing tempat.

Dalam kajian sosial, agama sering dipandang sebagai bagian dari budaya. Maksud agama di sini, tentu saja bukan agama pada level normatif (normative religion), tetapi agama yang telah mensejarah (historical religion) sebagai buah dari interpretasi terhadap ajaran yang normatif (interpretative religion). Agama pada level interpretasi dan historis jelas tidak dapat dilepaskan dari budaya manusia[1]

            Indonesia sebagai negara yang memiliki keberagaman suku dan budaya mempunyai banyak sekali tradisi dan adat istiadat yang unik dan berbeda-beda, salah satunya adalah adat perkawinan khususnya adat kawin gantung yaitu perkawinan yang belum diresmikan penuh (pengesahannya ditunda setelah dewasa) [2] dipertahankan secara turun temurun di beberapa desa di Jawa Barat, termasuk tradisi kawin gantung di Desa Cipaeh Serdang, Kecamatan Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang, Desa Cikawung, Kecamatan Pancatengah, Kabupaten Tasikmalaya, dan Desa 'Ujung Gebang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon. Kawin gantung adalah perkawinan antara seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang sebelumnya dijodohkan dan kemudian dikawinkan pada usia masih sangat muda. Kawin gantung merupakan tradisi pernikahan yang diawali dengan proses melamar seorang gadis yang masih berusia anak anak. Dalam tradisi nikah siri ini, anak perempuan dilamar oleh laki-laki sejak tamat sekolah dasar (SD). Keluarga calon gadis tidak akan menerima laki-laki lain jika sudah ada kesepakatan antara kedua keluarga, dan baru setelah mencapai pubertas barulah mereka menikah lagi. Sedangkan menurut KH. Aniq Muhammadun dalam tradisi nusantara kawin gantung adalah perkawinan yang dilakukan saat usia masih belia dengan tujuan tertentu seperti menjamin ikatan perjodohan atau menghidar dari perzinahan.[3]

Berdasarkan hasil penelitian Ali Rahmatilah, daerah di Jawa Barat yang sampai saat ini masih mempertahankan tradisi kawin gantung salah satunya adalah Desa Cikawung Kecamatan Pancatengah Kabupaten Tasikmalaya. (Ali Rahmatilah. Thesis, 2021. Salah satu kasus yang menyita perhatian masyarakat luas adalah kasus yang menimpa seorang anak gadis bernama Hilda Fauziah yang berasal dari Kampung Cijambu Desa Cikawung Kecamatan Pancatengah Kabupaten Tasikmalaya yang memilih untuk melarikan diri karena tidak dapat menerima perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya sejak kecil atau kawin gantung dengan seorang pemuda satu kampung. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya, masih terdapat tradisi pada sebagian masyarakat Kampung Cijambu Desa Cikawung Pancatengah Kabupaten Tasikmalaya yang menikahkan anak di usia sekitar 13 tahun dengan terlebih dahulu dilakukan kawin gantung. Anak gadis tersebut sejak Sekolah Dasar sudah didatangi dan dilamar oleh orangtua lelaki, karena sudah “dicirian”, anak gadis tersebut tidak lagi bebas memilih dan berhubungan dengan lelaki lainnya. Tradisi lain nya di Kampung tersebut adalah pernikahan harus dilakukan sesama warga satu kampung Cijambu,tidak boleh dengan daerah yang lain. (Gita Pratiwi. Artikel : 2019). Tradisi kawin gantung di Kampung Cijambu ini dibenarkan oleh Kepala Desa Cikawung bernama Asep Sambas yang menyatakan bahwa di Kampung Cijambu sejak lama terjadi tradisi kawin gantung, namun bukan perjodohan akan tetapi hasil kesepakatan anak kedua belah pihak. (Deden Rahardian. Artikel : 2021). Belahan daerah lainnya di Jawa Barat, yakni di Desa Cipaeh Serdang Kecamatan Gunung Kaler Kabupaten Tangerang masih terdapat pula tradisi kawin gantung. berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maurizka Chairani Agza, masyarakat di daerah tersebut masih mempertahankan kawin gantung karena sudah menjadi tradisi turun temurun dari nenek moyang yang mengharuskan anak mereka untuk melakukannya (Maurizka Chairani Agza. Skripsi, 2019 : 36). Selain kedua daerah tersebut, tradisi kawin gantung juga sampai saat ini masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat Desa Ujung Gebang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon. (Mira Munawaroh. Thesis, 2016 : 2). Sebagai salah satu kelompok etnis di tatar sunda, ketiga daerah tersebut diatas memiliki corak dan ragam budaya, salah satunya masih dipertahankannya tradisi kawin gantung”. Meskipun saat ini terjadi perubahan dalam masyarakat yang bersifat dinamis sebagai akibat dari adanya perubahan dan modernisasi dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat, namun pada kenyataannya tradisi kawin gantung sampai saat ini masih berlangsung pada sebagian masyarakat di ketiga daerah tersebut dan dipandang sebagai cara yang paling baik sebagai bagian dari proses awal dalam melakukan pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dalam tulisan ini penulis ingin melihat bagaimana perspektif Hukum Islam adanya “kawin gantung”. Dalam kaitannya dengan Perlindungan hak hak anak, serta bagaimana implikasi adanya “kawin gantung” tersebut.

  1. METODE PENULISAN .

metode penulisan ini adalah telaah aspek hukum fiqih secara normatif atau doktrinal yang mengasumsikan hukum fiqih sebagai seperangkat aturan / prinsip/ asas/doktrin / ajaran para ahli hukum fiqih. Sehingga doktrinal hukum ini difahami sebagai seperangkat fiqih serta membaca hasil penelitian yang dilakukan para peneliti terdahulu terhadap tradisi kawin gantung yang membudaya dimasyarakat kemudian dinalisis datanya secara “Kualitatif” yaitu memberikan interpretasi terhadap data yang diperoleh dengan melihat aturan hukum fiqih, teori serta asas hukum dengan tujuan menjawab permasalahan, yang kemudian akan ditarik kesimpulan secara “Deduktif” yaitu berpangkal pada prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum kemudian diikuti dengan pernyataan bersifat khusus dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan.

C. PEMBAHASAN.

a. Theory Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia adalah:

Secara bahasa, Receptio in Complexu berarti “penerimaan secara utuh” (meresepsi secara sempurna)”. Mr. Lodewijk Willem Christian Van Der Berg, sebagai pencetus teori ini mengatakan bahwa bagi pemeluk agama tertentu berlaku hukum agamanya. Oleh karena itu ia berkesimpulan bahwa masyarakat Indonesia telah menerima dan memberlakukan hukum Islam secara menyeluruh dalam praktik kehidupannya, sehingga inilah yang disebut teori receptio in complexu.

Teori resepsi adalah kebalikan dari teori “receptio in complex”. Secara bahasa berarti “penerimaan, pertemuan”. Hukum adat sebagai penerima, hukum Islam sebagai yang diterima. Jadi, hukum Islam baru bisa berlaku jika telah diterima atau masuk ke dalam hukum adat, maka secara lahirnya ia bukan lagi hukum Islam, tetapi sudah menjadi bagian dari hukum adat. Menurut teori ini, bangsa Indonesia pada hakikatnya bukan bangsa yang tidak punya tatanan hukum atau aturan, kendati baru dalam bentuk yang sederhana. Teori berawal karena kecurigaan-kecurigaan serta kritikan para pejabat Belanda. Kritikan ini ditujukan terhadap peraturan- peraturan yang telah dikeluarkan berkaitan dengan kebijaksanaan terhadap orang Islam.

Secara bahasa teori Receptio a Contrario berarti “penerimaan yang tidak bertentangan”. Hukum yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia adalah hukum Islam, hukum adat baru bisa berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Atas dasar inilah Haizairin melahirkan satu teori yang sesuai dengan keyakinan, cita-cita hukum, dan cita-cita moralnya, yakni teori ini mengemukakan bahwa hukum adat bisa berlaku bagi orang Islam manakala tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan demikian jelaslah bahwa teori Receptio A Contrario merupakan kebalikan dari teori Receptie.[4]

Dilihat dari segi fungsinya, hukum perkawinan Islam merupakan bagian dari hukum muamalah, karena ia mengatur hubungan antara sesama manusia. Hukum perkawinan dalam kepustakaan hukum Islam, disebut fikih munakahat, yaitu ketentuan-ketentuan hukum fikih yang mengatur soal nikah, talak, rujuk, serta persoalan hidup keluarga lainnya, sedang perkataan perkawinan sendiri menurut ilmu fikih, di sebut dengan istilah nikah, yang mengandung dua arti, yaitu (1) arti menurut bahasa adalah “berkumpul” atau “bersetubuh” (wata), dan (2) arti menurut hukum adalah akad atau per-janjian (suci) dengan lafal tertentu antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami istri.[5]

b. Perspektif Hukum Islam terhadap Kawin Gantung

Kawin gantung dilaksanakan oleh anak laki laki terhdap perempuan yang mereka telah tamat Sekolah Dasar (SD) yang usia nya 13 tahun dengan cara dijodohkan oleh orang tuanya kemudian mereka dikawinkan pada usia yang masih anak anak, tetapi kedua anak tersebut belum hidup bersama dan tinggal di rumah orang tua masing masing, pihak perempuan (keluarganya) tidak diperkenankan lagi menerima laki laki lain yang akan mempersuntingnya, ketika mereka sudah dianggap remaja dinikahkan kembali oleh orang tuanya dan hiduplah sebagaimana layaknya suami istri.

Dalam Hukum Islam usia pernikahan tidak dibatasi, Para ulama’ dari empat madzhab sepakat mengenai bolehnya perkawinan anak laki-laki yang masih kecil dengan perempuan yang masih kecil pula, apabila akadnya dilakukan oleh walinya. Tetapi terdapat perbedaan pendapat mengenai keadaan walinya. Ayat-ayat tentang pernikahan dalam al-Qur’ân terdapat 23 ayat. Tapi tidak ada ayat satupun yang menjelaskan batasan usia nikah. Namun jika diteliti lebih lanjut, ayat yang berkaitan dengan kelayakan seseorang untuk menikah ada dua ayat dalam al-Qur’ân, yaitu surat al-Nûr ayat 32 :

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya“dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. al-Nûr: 32).

Dalam Tafsîr Ibnu Katsîr dijelaskan bahwa ayat ini adalah sebuh perintah untuk menikah sebagaimana pendapat sebagian dari ulama mewajibkan nikah bagi mereka yang mampu.[6] Al-Marâghy menafsirkan sebagimana yang dikutip oleh Mustofa kalimat والصالحين para laki-laki atau perempuan yang mampu untuk menikah dan menjalankan hak-hak suami isteri, seperti berbadan sehat, mempunyai harta dan lain-lain. Quraysh Shihab menafsiri ayat tersebutوالصالحين”, yaitu seseorang yang mampu secara mental dan sepiritual untuk membina rumah tangga, bukan berarti yang taat beragama, karena fungsi perkawinan memerlukan persiapan bukan hanya materi, tetapi juga persiapan mental maupun spiritual, baik bagi calon laki-laki maupun calon perempuan.[7]

Firman Allah Swt., Surat al-Nûr ayat 59,

وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinay ; Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs.An Nur.59)[8]

Surat al-Nisâ’ ayat 6 [9]. Dalam tafsîr Ayat al-Ahkâm bahwa seseorang anak dikatakan baligh apabila laki-laki telah bermimpi, sebagaimana telah disepakati ulama bahwa anak yang sudah bermimpi lantas ia junub (keluar mani)[10] maka dia telah bâligh, sedangkan ciri-ciri wanita ketika sudah hamil atau haidh maka itulah batasan bâligh,[11] dijelaskan dalam tafsîr Al-Misbâh, makna kata dasar rushdan adalah ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini lahir kata rushd yang bagi manusia adalah kesempurnaan akal dan jiwa yang menjadikanya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin.

Secara historis, tentang batasan perkawinan dicontohkan oleh pernikahan Nabi Saw., dengan Aisyah yang berusia 9 tahun dan 15 tahun. sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Muslim berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: تَزَوَّجَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِىَ بِنْتُ سِتِّ وَبَنَى بِهَا بِنْتُ تِسْعِ وَمَاتَ وَعَنْهَاوَهِىَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ (رواه مسلم).

Artinya: “Rasulullah menikah dengan dia (Aisyah) dalam usia enam tahun, dan beliau memboyongnya ketika ia berusia 9 tahun, dan beliau wafat pada usia delapan belas tahun”. (HR. Muslim).[12]

Sedangkan batasan 15 tahun sebagaimana riwayat Ibnu Umar yang dikutip Ahmad Rafiq berbunyi:

عَرَضْتُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أَحَدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَلَمْ يَجْزِبِى وَعَرَضَتْ عَلَيْهِ يَوْمَ الحَنْدَقِ وَأَنَا ابْنَ عَشْرَةَ سَنَةً فَأَجَازَنِى.

Artinya: “Saya telah mengajukan kepada Rasulullah SAW., untuk ikut perang Uhud yang waktu itu saya berusia 14 tahun, beliau tidak mengijinkan aku. Dan aku mengajukan kembali kepada beliau ketika perang Khandaq, waktu itu umurku 15 tahun, dan beliau membolehkan aku (untuk mengikuti perang)”.[13]

Menurut Imam Malik, bâligh ditandai dengan tanda keluarnya mani secara mutlak dalam kondisi menghayal atau sedang tertidur, atau ditandai dengan beberapa tumbuhnya rambut dianggota tubuh. Menurut Imam Syafi’i bahwa batasan bâligh adalah 15 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan. Menurun Hanbali, bagi laki-laki ditandai dengan mimpi atau umur 15 tahun, sedangkan peremuan atau bagi perempuan ditandai dengan haidh.[14]

Dalam Islam tidak dikenal istilah kawin gantung, Kawin gantung adalah merupakan sebuah budaya yang sudah turun temurun pada masyarakat jawa barat (sunda) yang pelaksanaanya seperti bentuk khitbah (perjodohan) Rasulullah saw.menikah dengan Aisyah ia masih sangat belia (usia 6 tahun) lalu Rasul menunguinya hingga 3 tahun setelah pernikahan yang sebenarnya apabila budaya ini dikaitkan dengan teori Receptio a Contrario yang diprakarsai oleh kemunculan teori recepti in complexiu yang di gagas oleh Van Den Berg dari Belanda berarti “hukum adat baru bisa berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Maka dasar inilah yang dipakai oleh Haizairin melahirkan satu teori yang sesuai dengan keyakinan, cita-cita hukum, dan cita-cita moralnya, yang mengemukakan bahwa hukum adat bisa berlaku bagi orang Islam manakala tidak bertentangan dengan hukum Islam dan theory ini lah yang berlaku dimasyakar jawabarat khususnya di Desa Cipaeh Serdang Kecamatan Gunung Kaler Kabupaten Tangerang, Desa Cikawung dan Ujung Gebang kecamatan Sususkan Kabupaten Indramayu, D a n     apabila dikaitkan dengan dalil dalil, pendapat para ulama dan imam imam mazhab, Hukum asal adat atau kebiasaan manusia adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya. Sebagaimana yang jelaskan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam bait syairnya,

والأصل في عاداتنا الإباحة حتى يجيء صارف الإباحة

Hukum asal adat kita adalah boleh selama tidak ada dalil yang memalingkan dari hukum bolehnya.

Para ulama memberikan ungkapan lain untuk kaedah di atas,

الأصل في العادات الإباحة

Hukum asal untuk masalah adat (kebiasaan manusia) adalah boleh.”

Ibnu Taimiyah berkata,

وَالْأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ لَا يُحْظَرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَظَرَهُ اللَّهُ

Hukum asal adat (kebiasaan masyarakat) adalah tidaklah masalah selama tidak ada yang dilarang oleh Allah di dalamnya”.[15] maka budaya kawin gantung yang telah berlaku di masyarakat jawabarat tidak bertentantangan dengan hukum Islam dan sah menurut Hukum Islam karena syarat, rukun nikah telah terpenuhi sesuai syari’at (hukum fiqih) dan dilakukan oleh wali mujbir[16] kawin gantung hanya sifatnya seperti khitbah (perjodohan) dan belum memiliki akibat hukum sebagaimana nikah pada umumnya tidak juga dicatatkan di Kantor Urusan Agama setempat, laki laki dan perempuan tidak serumah dan tidak ada hak dan kewajiban (bersetubuh) menunggu sampai aqil baligh baru menikah yang sebenarnya sepanjang syarat rukun nikah terpenuhi dan tidak ada larangan menikah menurut syariat Islam,

  1. c.Kawin Gantung dalam perspektif Undang Undang.

Praktek Kawin gantung yang menjadi budaya masyarakat jawa barat (sunda ) dilaksanakan pada usia sekolah dasar (SD kelas IV) yang rata rata usianya 10 atau 12 tahun. Undang Undang Perkawinan Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan Undang undang nomor 1 tahun 1974, Pasal 7 ayat ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa” (1) Perkawinan hanya dizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun. (2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) orang tua pihak pria/orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti bukti pendukung yang cukup” jika pasal tersebut dilihat dari status quo apabila akan menikah belum memenuhi batas minimal usia perkawinan, maka harus mengajukan permohonan dispensasi kawin ke Pengadilan dan harus memenuhi dua syarat komulatif yaitu ada alasan yang mendesak dan memiliki bukti yang cukup, celah hukum inilah yang dimanfaatkan oleh orang yang mengajukan dispensasi kawin. Dalam ketentuan Konvensi PBB tentang hak anak menegaskan semua tindakan mengenai anak yang dilakukan oleh lembaga kesejahteraan sosial, negara atau swasta, Pengadilan, penguasa administratif atau Badan Legislatif dilaksankan demi kepentingan terbaik anak [17]. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak dalam pasal (15) yang berbunyi “ setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik, b. pelibatan dalam sengketa bersenjata,c. pelibatan dalam kerusuhan sosial d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan pelibatan dalam peperangan dan kejahatan seksual.[18] Berlanjut pada Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Perkawinan menerangkan bahwa ”tiap- tiap perkawinan dicatat menurut         peraturan perundang-ndangan yang berlaku”.Pada satu sisi, keabsahan        perkawinan menurut Undang Undang Perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan masing- masing.[19] Jika kita melihat regulasi yang ada baik undang undang perkawinan mengenai batasan minimal usia perkawinan pada pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) dan pasal 2 ayat (2) baik undang undang perkawinan nomor 16 tahun 2019 tentang pencatatan perkawinan, Konvensi PBB dan Undang undang perlindungan anak pada pasal (15) tentang setiap anak berhak memperoleh perlindungan termasuk kejahatan seksual, maka kawin gantung yang telah menjadi adat dan budaya masyarakat Jawabarat khususnya di Desa Cipaeh Serdang Kecamatan Gunung Kaler Kabupaten Tangerang, Desa Cikawung dan Ujung Gebang kecamatan Susukan Kabupaten Indramayu meskipun secara hukum fiqih sah akan tetapi karena dilaksanakan diusia yang masih anak anak (SD), sehingga akan menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak yang akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan dan hak sosial anak.

  1. d.Implikasi terhadap Kawin Gantung

Meskipun kawin gantung itu sah secara hukum akan tetapi karena kawin gantung itu dilakukan pada usia anak yang masih sangat muda, yang tujuannya untuk menghindari pergaulan pria dan wanita dari perbuatan yang tidak baik misalnya berpacaran yang tidak ada dalam islam dan cenderung menjerumuskan kaum muda dalam perbuatan zina. Oleh karena itu kawin gantung bisa dianggap sebagai suatu solusi untuk mengatasi hal tersebut mengingat jaman sekarang pergaulan sudah semakin bebas dan sulit bagi remaja untuk mengendalikan dirinya. Kawin gantung bisa mencegah terjadinya perbuatan zina, hamil diluar nikah dan hal-hal lain yang dilarang oleh agama, Namun karena usia perkawinan yang masih sangat muda belia serta usia sekolah (13-15 tahun) dimana secara fisik dan mental nya belum siap, bisa jadi saat dewasa kedua pasangan tersebut tidak saling menyukai dan hal tersebut bisa menyebabkan hubungan rumah tangga yang tidak harmonis dan terjadi perceraian mengingat masa anak anak adalah masa yang masih labil. implikasi terhadap pelaksanaannya pada sisi lain juga terjadi peningkatan jumlah anak putus sekolah sehingga menghambat pembangunan nasional, jumlah masyarakat miskin semakin meningkat, rentan terhadap perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga karena belum memiliki kematangan psikologis, secara medis menunjukan bahwa perempuan yang menikah usia muda, dengan berhubungan seks lalu menikah dan kemudian hamil dalam kondisi yang tidak siap, maka akan berdampak negatif seperti terkenanya kanker rahim atau cancer cervix karena hubungan seks secara bebasataupun berhubungan intim dengan berganti ganti pasangan, sikap pro terhadap pernikahan dibawah umur beralasan bahwa nikah dibawah umur menjadi suatu hal kebiasaan dan tradisi yang telah membudaya dibeberapa masyarakat[20] khususnya di desa Cipaeh Serdang, Kecamatan Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang, Desa Cikawung, Kecamatan Pancatengah, Kabupaten Tasikmalaya, dan Desa 'Ujung Gebang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon

D.KESIMPULAN

Dari analisa singkat diatas dapat disimpulkan bahwa Kawin gantung adalah perkawinan antara seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang sebelumnya dijodohkan pada usia anak anak kemudian dikawinkan pada usia aqil baligh yang merupakan tradisi turun temurun dan masih dipertahankan pelaksanaanya, diawali dengan proses melamar seorang gadis yang masih berusia anak anak, dimana pelaksanaan nya tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan dalam perspektif hukum Islam adalah sah, akan tetapi meskipun secara hukum Islam sah karena kawin gantung termasuk perkawinan anak dibawah umur, maka hal ini tidak sejalan dengan perundang undangan yang ada baik undang undang perkawinan, undang perlindungan anak, dan konvensi PBB yang menyoroti tentang hak hak anak. Oleh karena itu jika tradisi kawin gantung ini masih tetap dipertahankan harus diselaraskan dengan perundangan undangan yang ada mengenai batasan usianya, tidak merampas hak anak, seperti pendidikannya, kesehatnnya demi kepentingan yang terbaik bagi anak, dan disarankan penting kehadiran tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat unsur pemerintah, lembaga PEKKA, agar dapat membantu menumbuhkan kesadaran dan mengedukasi masyarakat untuk dapat menekan angka perkawinan anak demi masa depan yang terbaik bagi anak. Untuk menekan jumlah anak putus sekolah, menekan angka perceraian mencegah kematian jumlah perempuan saat melahirkan, pengangguran dan kemiskinan,

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Rahman al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh Alâ Madzâhib al-Arba’ah, (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), 313-314

Abdurrahman Al Ghorik, terbitan Dar At Tadmuriyyah, cetakan pertama, tahun 1432 H. Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy Syatsri, terbitan Dar Kanuz Isybiliya, cetakan kedua, 1426 H. Syarh Al Manzhumatus Sa’diyah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah

Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Pensyarh:

Agza, M. C. Praktik kawin gantung di Desa Cipaeh Serdang Kecamatan Gunung Kaler Kabupaten Tangerang (Bachelor's thesis, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

Ahamad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawi Press, 1998), 81

Al-Imâm Abî Fadâ’ al-Hâfidz Ibnu Katsîr al-Damasqy, Tafsîr Ibnu Katsîr, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 269. Lihat juga Imâm al-Muhaqqiqîn wa Qadwah al-Mudaqqiqîn al-Qâdhî Nâshir al-Dîn Abî Sa’id Abdillah bin Umar bin Muhammad al-Syairâzy al-Baydhâwy, Tafsîr al-Baydhâwy , (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2013), 123

Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur’an, 1996), hal. 134.

Depertemen Agama RI, 143

Dr. Su’ud bin ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al Ghorik Risalah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh ‘

Dr.Mardi Candra, S,Ag, M,Ag,MH Pembaharuan Hukum Dispensasi Kawin dalam sisitem hukumdi Indonesia Kencana Jakarta 2021 hal.54

http:nu.or.id KH.Saefuddin Amsir dalam Bahsul Masail Dinniyah waqiyah (masalah aktual keagamaan di Makasar 25 maret 2010 diakses 1 oktober 2023 pukul 10.20.wib.

Jakarta: RajaGrafindo Persada

Kementrian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Tekologi RI. Badan Pengembangan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (kbbi.kemendikbud.go.id dilihat 26 sep.2023)

Muhammad Alî al-Shâbûny, Tafsîr Âyât al-Ahkâm min al-Qur’ân, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 153

Munawaroh, M. (2016). Tradisi Kawin Gantung di Ujung Gebang (Doctoral dissertation, Universitas Pendidikan Indonesia). Rahmatilah, A. (2021). Praktik kawin gantung pada masyarakat muslim di Desa Cikawung Kecamatan Pancatengah Kabupaten Tasikmalaya (Doctoral dissertation, UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

Muslim, Shahîh Muslim, (Jakarta: Dâr Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyyah Jilid I, tt), 595

Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka al-Fikriis, 2009), 22

Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Mu’minun: 13. Al-Hajj: 5. Al-Sajadah:8 al-Qiyamah: 37. Mana atau nutfah terdiri dari dua sel; 1) sel kromosom, jenis laki-laki yang dilambangkan dengan guruf Y. 2) sel kromosom, jenis perempuan yang dilambangkan dengan huruf X. nutfah perempuan yang disebut dengan ovum hanya memiliki satu macam sel yaitu yang dilambangkan dengan huruf X. Ubes Nur Islam, Mendidik Anak dalam Kandungan, (Jakarta: Gema Insani, 2014), 37-38

            Tihami. (2014). Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.

 


[1] Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur’an, 1996), hal. 134.

[2].Kementrian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Tekologi RI. Badan Pengembangan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (kbbi.kemendikbud.go.id dilihat 26 sep.2023)

[3] www.bbc.com. Berita Indonesia. Diakses pada 17 September 2023 pukul 12:07 WIB

[4] Irmawati. (2017). Teori Belah Bambu Syahrizal Abbas : Antara Teori Reception In Complexu, Teori Receptie Dan Teori Receptio A Contrario, Petita. Vol. 2 (2

[5] Tihami. (2014). Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.

Jakarta: RajaGrafindo Persada

[6] Al-Imâm Abî Fadâ’ al-Hâfidz Ibnu Katsîr al-Damasqy, Tafsîr Ibnu Katsîr, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 269. Lihat juga Imâm al-Muhaqqiqîn wa Qadwah al-Mudaqqiqîn al-Qâdhî Nâshir al-Dîn Abî Sa’id Abdillah bin Umar bin Muhammad al-Syairâzy al-Baydhâwy, Tafsîr al-Baydhâwy , (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2013), 123

[7] Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka al-Fikriis, 2009), 22

[8] Depertemen Agama RI, 143

[9] Ibid.

[10] Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Mu’minun: 13. Al-Hajj: 5. Al-Sajadah:8 al-Qiyamah: 37. Mana atau nutfah terdiri dari dua sel; 1) sel kromosom, jenis laki-laki yang dilambangkan dengan guruf Y. 2) sel kromosom, jenis perempuan yang dilambangkan dengan huruf X. nutfah perempuan yang disebut dengan ovum hanya memiliki satu macam sel yaitu yang dilambangkan dengan huruf X. Ubes Nur Islam, Mendidik Anak dalam Kandungan, (Jakarta: Gema Insani, 2014), 37-38

[11] Muhammad Alî al-Shâbûny, Tafsîr Âyât al-Ahkâm min al-Qur’ân, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 153

[12] Muslim, Shahîh Muslim, (Jakarta: Dâr Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyyah Jilid I, tt), 595

[13] Ahamad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawi Press, 1998), 81

[14] Abd al-Rahman al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqh Alâ Madzâhib al-Arba’ah, (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilm

[15].Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy Syatsri, cetakan kedua, 1426 H Syarh Al Manzhumatus Sa’diyah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah, , terbitan Dar Kanuz Isybiliya, cetakan kedua, 1426 H

[16] http:nu.or.id KH.Saefuddin Amsir dalam Bahsul Masail Dinniyah waqiyah (masalah aktual keagamaan di Makasar 25 maret 2010 diakses 1 oktober 2023 pukul 10.20.wib.

[17] Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990

[18] Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Menjaga dan Melindungi Anak, (Jakarta: Devisi Pengaduan, 2011), 10-11

[19] Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinann diakses pada hari minggu tanggal 1 Oktober 2023 pukul 212.30 wib

[20] Dr.Mardi Candra, S,Ag, M,Ag, ,MH Pembaharuan Hukum Dispensasi Kawin dalam sisitem hukumdi Indonesia Kencana Jakarta 2021 hal.54

KLIK DISINI 

Add comment


Security code
Refresh

Hubungi Kami

Pengadilan  Agama  Cibadak Kelas I A

Jl. Jenderal Sudirman No. 3, Komplek Perkantoran OPD

Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi

Provinsi Jawa Barat

Telp: 0266-432666 
Fax: 0266-432667

email. This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

         tabayunThis email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.