Praktek Permohonan Ijin Dispensasi Kawin/Nikah Setelah Berlakunya UU No. 16 Tahun 2019 dengan Perma No. 5 Tahun 2019 Sebagai Salah Satu Hukum Acaranya.
(Sebuah Kajian Seluk beluk Pernikahan Anak dan Permasalahannya)
Penulis :Heri Widi Astanto, S.Sos., S.H., M.H
Panitera Pengganti PA. Cibadak
Pengantar
Setelah berlakunya UU No. 16 Tahun 2019 yang berisi perubahan UU. No. 1 Tahun 1974 khususnya dalam Pasal 7 yang pada intinya adanya pembatasan umur minimal seorang warga Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang ingin menikah harus berumur minimal 19 tahun, yang sebelumnya di dalam UU No. 1 Tahun 1974 untuk Pria minimal 19 Tahun dan untuk perempuan minimal berumur 16 tahun. Patut diketahui UU No. 1 Tahun 1974 tidak hanya berlaku untuk Hukum Pernikahan Keluarga Muslim/ Islam saja akan tetapi berlaku semua pemeluk agama dan kepercayaan, artinya bahwa UU ini berlaku untuk pernikahan di gereja, atau ditempat ibadah lainnya yang melaksanakan pernikahan pada para pihak pemeluk agamanya masing-masing. Dimana para penghulu atau pemuka agama yang akan menikahkankan harus memastikan calon pengantin lelaki dan perempuannya minimal 19 tahun.
Hal tersebut diatas membuka perdebatan para praktisi hukum baik di lingkungan pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri (untuk para pihak yang beragama non-muslim) juga para advokad bahkan para pihak berperkara itu sendiri (dalam hal ini orang tua atau wali anak yang akan menikahkan. Diskusi-diskusi tentang tema ini sering dibuka di media elektronik, on-line, media sosial bahkan diskusi di lingkungan pondok pesantren Salafiah maupun Pesantren modern, para ustad dan kyai di pedesaan dan khalayak umum diwarung kopi pinggiran pantai Citepus, Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi sebagai permisalan.
Penulis pernah bertanya kepada salah satu sahabat luar negeri (Turki) yang juga seorang praktisi hukum dinegaranya bahwa usia minimal seorang warga negara di negara dia berdomisili saat ini yaitu minimal warga negara yang diijinkan menikah adalah umur 17 tahun meskipun Turki termasuk negara muslim setelah dipimpin Presiden Endorgan yang sebetulnya pembatasan umur minimal menikah tersebut berdasar perundangan negara Turki yang lama yaitu pemerintahan sekulerisme yang melarang hukum Islam diterapkan di Turki, apabila ia masih berusia dibawah 17 tahun baik pria maupun wanita maka mereka dan keluarga mereka akan menempuh proses ijin dari Pengadilan, sama seperti di Indonesia. Bahkan ketika Presiden Endorgan telah menumbangkan rezim Sekulerism dan mengganti dengan Syariat Islam seperti pada Jaman Turki Ustmani hingga saat ini tidak ada perubahan usia minimum warga negaranya baik lelaki maupun perempuan tetap 17 tahun.
Pada setiap negara di dunia ini memiliki perbedaan usia minimum seorang warganya diijinkan menikah, seperti diantaranya Ukraina memiliki batas usia minimal 18 tahun, sementara usia dibawah 18 tahun tetap boleh menikah dengan syarat diijinkan oleh Pengadilan, Negara Georgia mempunya batasan 18 tahun, apabila dibawah 18 tahun tetap boleh dinikahkan dan tidak perlu mendapat ijin Pengadilan melainkan hanya bersyarat mendapat ijin dari orang tua masing-masing pihak, Negara Albania juga batas minimum usia pernikahan 18 tahun, namun jika dibawah 18 tahun negara tidak melarangnya namun negara tidak mengakui secara hukum atas pernikahan tersebut, Negara Kanada, Belgia, Brazilia yang merupakan negara mayoritas non-muslim minimum usia pernikahan yang diijinkan 16 tahun dan umur dibawahnya jika ingin menikah cukup dengan ijin orang tua kedua belah pihak, sementara di negara Inggris Raya termasuk Skotlandia usia minimum pernikahan adalah 18 tahun di Inggris dan 16 tahun di Skotlandia (di cuplik dari halaman on-line Liputan6, Benekdita Miranti Tri Verdiana pada 07 Jan 2020, 12:06 WIB).
LatarBelakangMasalah serta Perumusan Masalahnya.
Penulis pada tanggal 23 April 2021 ikut berpartisipasi sebagai peserta dalam Pembinaan Tehnis Yustisial Peradilan Agama Secara Virtual (on Line) tentang tema : Tehnis Yudisial Peradilan Agama Permohonan Dispensasi Kawin dan Hadonah yang diselenggarakan atas inisiator Direktur BADILAG sekaligus menjadi moderator Bpk. Dr. H. Aco Nur, S.H., M.H, sementara sebagai Nara Sumber adalah YM Drs. H. Busra, S.H., M.H (hakim agung kamar agama Mahkamah Agung R.I.)
Dalam pembinaan yang diinovasikan oleh bpk. Direktur BADILAG tersebut setelah materi disampaikan oleh nara sumber dibuka sesi tanya-jawab yang sangat interaktif dan kritis dimana permasalahan-permasalahan dilapangan didiskusikan dan dijawab oleh nara sumber. Dari pemaparan nara sumber dan beberapa pertanyaan dari peserta pembinaan tersebut, yang menurut penulis sangat relevan dan menarik untuk dijadikan salah satu penggalian latar belakang masalah dalam artikel ini, disamping dari latar belakang masalah yng ditemukan oleh penulis itu sendiri, yaitu diantaranya;
- Permasalahan mengenai alasan mengapa batas minimum usia pernikahan seorang pria dan perempuan menjadi sama yaitu 19 tahun (yang dulunya perempuan hanya 16 tahun), sebenarnya apa yang menjadi dasar tujuan filosofi hukum yang akan dicapai untuk kemasahalatan warga negara?
- Seberapa efektifkah UU ini menekan jumlah pernikahan anak mengingat diberbagai daerah masih turut dan tunduk pada adat istiadat dan tokoh agama yang tetap berpedoman pada hukum Islam tentang syarat sah nya suatu pernikahan termasuk batas minimum usia pernikahan yang berbeda dengan UU ini sehingga muncul pernikahan anak dibawah umur 19 tahun secara dibawah tangan alias tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) untuk warga yang bergama Islam dan tidak tercatat di DISDUKCAPIL untuk non-muslim. Artinya bahwa untuk di banyak daerah di Indonesia yang masih memegang teguh nilai-nilai budaya dan tradisi serta memegang hukum Suku, Hukum adat istiadat dari suatu kelompok masyarakat tradisional (termasuk Local Wisdom) , hukum Islam (memiliki perbedaan tinjauan fiqih tentang usia minimum pernikahan), dll. Hal inilah justru dikhawatirkanakan menambah pernikahan yang tidak tercatat dikarenakan perbedaan Syarat minimum usia pernikahan dengan UU No. 16 Tahun 2019 dikhawatirkan membuat warga justru enggan mengajukan Permohonan Perkara Ijin Dispensasi Kawin tersebut.
- Penulis juga menemukan permasalahan secara langsung yang ada di masyarakat umum bahkan sebelum berlakunya UU No. 16 Tahun 2019 pun sudah cukup banyak, diantaranya bagaimana jika seorang anak berumur dibawah ketentuan minimal usia pernikahan tersebut berbeda agama, apakah Pemohon Ijin Dispensasi Kawin akan mengajukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, mengingat masih diijinkannya pernikahan beda agama antara muslim dan non-muslim ataupun non-muslim dan non-muslim itu sendiri (semisal pernikahan seseorang bergama Katolik dengan seseorang beragama Budha), dalam hal ini penulis mendasarkan pada pasal 35 huruf (a) UU Adminduk. Oleh karena itu akan menjadi ambigu seandainya suatu Perkara Permohonan Ijin Dispensasi Kawin yang berbeda agama tersebut semisal calon suami beragama Islam dan diajukan di Pengadilan Agama dan diputuskan/ dikabulkan memberikan ijin calon suami tersebut untuk menikahi calon Istrinya yang juga sedang mengajukan Permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan Negeri karena ia seorang non- muslim, namun bagaimana misalnya calon isteri itu dalam Permohonan ijin Dispensasi Kawinnya tidak dikabulkan oleh Pengadilan Negeri yang membawa akibat calon suami isteri tersebut tetap tidak bisa melakukan pernikahan karena salah satu pihak tidak dikabulkan Permohonan Dispensasi Kawinnya di Pengadilan, maka akan sangat ambigu, karena tidak ada satu orang pun yang bisa menjamin Permohonan Ijin Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri pasti dikabulkan.
- Selanjutnya permasalahan yang sebagian masyarakat umum atau praktisi hukum belum sepenuhnya mendapatkan kejelasan tentang urgensi alasan-alasan yang sangat mendesak apa saja yang dapat dijadikan pertimbangan hakim untuk dikabulkannya suatu Permohonan Ijin Dispensasi Kawin.
- Seiring senada dengan Perma No. 5 Tahun 2019 yang telah resmi dijadikan salah satu hukum acara dalam pemeriksaan perkara Dispensasi Kawin tersebut para pihak berperkara maupun para praktisi hukum/ advokadsebagaian besar belum tahu tata cara pelaksanaan pasal 15 Perma No. 5 Tahun 2019 tersebut yang berkaitan dengan bagaimana Prosedur para pihak atau Kuasa Hukumnya memperoleh Surat Rekomendasi dari salah satu lembaga Psikolog/ Dokter/Bidan, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), KPAI/KPAD, lalu bagaimana jika lembaga tersebut dalam surat rekomendasinya berisi putusan lembaganya terhadap para pihak semisal bahwa seorang anak yang dimohonkan ijin dispensasi kawinternyata tidak memperoleh rekomendasi untuk menikah menikah dari salah satu atau semua lembaga diatas, apakah nantinya persyaratan materiil ini wajib terpenuhi? Apakah Pengadilan akan menolak atau me- NO (niet ontvankelijke verklaard/ tidak dapat diterima)perkara ini jika syarat ini tidak terpenuhi?
Dasar Perundangan Dalam artikel ini.
Dalam tulisan artikel ini bahan kajian Hukum yang digunakan adalah kajian hukum yang pokok / Primer, merupakan bahan pustaka yang berisikan peraturan perundang-undangan yang terdiri dari:
a. Pasal 49 huruf (a) Undang-undangNomor 3 Tahun 2006 tentangPeradilan Agama (PerubahanpertamaUndang-undangNomor 7 Tahun 1989),
b. Undang-undangNomor 50 Tahun 2009 tentangPeradilan Agama (PerubahankeduaUndang-undangNomor 7 Tahun 1989).
c. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
d. Undang-undang No. 16 Tahun 2019 tentang Dispensasi Kawin Dalam Hukum Keluarga perubahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
e. Perma No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
Pembahasan Praktek Permohonan Ijin Dispensasi Kawin/Nikah Setelah Berlakunya UU No. 16 Tahun 2019 dengan Perma No. 5 Tahun 2019 Sebagai Salah Satu Hukum Acaranya.
Dalam pembahasan di artikel ini penulis akan memulai dengan permasalah Siapasaja yang berhak mengajukan Permohonan Dispensasi Kawin, Secara umum yang bisa mengajukan Permohonan ini adalah orang tua atau wali yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak yang belum berusia 19 (sembilan belas tahun). Orang tua atau wali yang akan mengajukan permohonan dispensasi kawin tidak harus sama agama atau kepercayaannya dengan anak yang mau diajukan dispensasi kawin, artinya bahwa anak yang mau diajukan dispensasi kawin beragama Islam sedangkan orang tuannya non-muslim maka orang tua dari anak tersebut mengajukannya berdasarkan agama anak tersebut yaitu di Pengadilan agama, sedangkan apabila anak tersebut beragama non-muslim/Islam sedangkan orang tuanya seorang muslim maka pengajuan Permohonannya di Pengadilan Negeri sehingga sebagai pegangannya adalah agama dari anak yang mau diajukan dispensasi nikah tersebut.
- Lalu apa yang menjadi filosofi tujuan dari permohonan dispensasi nikah bagi anak yang belum berumur 19 tahun tersebut adalah asas kepentingan terbaik bagi anak, Hak hidup & tumbuh kembang anak, penghargaan atas pendapat anak, penghargaan atas harkat martabat manusia, menghindarkan dari diskriminasi, kesetaraan gender, equal before the law, keadilan,kemanfaatan dan kepastian hukum.
- Ke-efektifan UU no. 16 Tahun 2019 ini dalam menekan pernikahan anak dibawah umur adalah tujuan utama dari berlakunya perundangan ini. Meningkatnya jumlah perkara Permohonan Dispensasi Kawin (DK) di Pengadilan setelah undang-undang ini berlaku sangatlah wajar dikarenakan batas usia minimum anak perempuan untuk menikah dari yang semula 16 tahun menjadi 19 tahun adalah sebagai penyebab naiknya jumlah perkara ini baik yang diajukan di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri. Membahas tentang keefektifan UU ini dalam menekan pernikahan anak otomatis berhubungan jumlah perkara Permohonan DK ini yang diputus untuk dikabulkan dan jumlah putus yang ditolak atau tidak diberikan ijin oleh Pengadilan serta perkara-perkara DK yang kurang syarat materiil sehingga di NO (niet ontvankelijke verklaard/ tidak dapat diterima). Pada sisi lain dari berlakunya UU ini justru kontra produktif, dikhawatirkan untuk daerah-daerah yang masih tradisional dan masih menggunakan hukum adat dan hukum agama (fiqih Islam) sebagai acuan dalam pernikahan yang memiliki batas minimum usia pernikahan anak yang berbeda-beda sehingga pernikahan anak tersebut tidak diajukan Permohonan DK dipengadilan, akhirnya justru menambah pernikahan tidak tercatat oleh KUA dan atau DISDUKCAPIL setempat karena tidak adanya putusan/penetapan dari Pengadilan.
- Tentang pernikahan anak yang berbeda agamanya yang diajukan di DK ke Pengadilan yang otomatis berbeda kewenangan absolut dan kewenangan Relatifnya pula. Sebagai contoh Seorang anak perempuan yang beragama Non-Islam diajukan DK di Pengadilan Negeri sementara calon suaminya seorang anak lelaki yang beragama Islam dan juga sedang mengajukan DK di Pengadilan Agama. Dari dua perkara permohonan DK di dua jenis Pengadilan itu ternyata hasilnya putusan pengadilan berbeda, semisal pengajuan DK untuk anak perempuan non-Islam itu di Pengadilan Negeri lalu pada saat putusan ternyata putusannya menolak memberikan ijin DK/ tidak memberikan ijin untuk menikah, sementara perkara DK yang diajukan untuk calon suaminya yang beragama Islam yang diajukan di Pengadilan Agama tersebut dikabulkan diberikan ijin oleh Pengadilan Agama setempat, otomatis tetap tidak dapat dinikahkankan dan dicatat di DISDUKCAPIL setempat karena dari pihak calon isteri permohonan DK nya ditolak/ tidak diberi ijin oleh Pengadilan Negeri. Permisalan kasus seperti ini bukan tidak mungkin terjadi karena tidak ada seorangpun yang bisa memastikan suatu perkara Permohonan DK ke Pengadilan pasti akan dikabulkan, sehingga menjadi ambigu bagi para pencari keadilan yaitu para pihak atau kuasa hukumnya. Semua hal diatas juga bukan tidak mungkin terjadi dalam satu Pengadilan dan satu paket Permohonan DK yaitu baik calon suami dan calon isteri masih dibawah umur 19 tahun dan harus mengajukan bersamaan di satu Pengadilan, karena walaupun dalam satu paket pengajuan Permohonan perkara DK masing-masing harus mendaftar sendiri sehingga memiliki nomor perkara sendiri yang otomatis mempunyai Majelis Hakim yang tidak menutup kemungkinan berbeda pula sehingga dari dua nomor perkara bisa dan sangat mungkin diperiksa oleh majelis yang berbeda pula, apalagi kalua para pihak calon suami dan isteri mendaftar perkaranya tidak pada hari yang sama berjarak berhari-hari atau berbulan. Hal ini bukan tidak mungkin pula bahwa kedua perkara DK tersebut semua dapat dikabulkan oleh majelis yang berbeda.
- Permasalahan yang sebagianmasyarakatumumataupraktisihukumbelumsepenuhnyamendapatkankejelasantentangurgensialasan-alasan yang sangatmendesakapasaja yang dapatdimuat dalam fundamentum petendi (posita) sehingga para pihak atau kuasa hukumnya dalam membuat petitumnya bersifat permintaan atau permohonan (deklaratif) dijadikanpertimbangan hakim untukdikabulkannyasuatuPermohonanIjinDispensasiKawin. Berikut ini adalah alasan-alasan yang mendesak suatu perkara Permohonan DK dapat diajukan menurut Penjelasan Pasal 7 ayat 2 UU No.16 Tahun 2019 memang tidak disebutkan secara terperinci meskipun ini sudah dalam penjelasan Pasal 7 ayat 2 UU No. 16 Tahun 2019 tersebut, namun berdasarkan pengalaman penulis sebagai seorang praktisi hukum dapat telah mengamati dan ingin menyampaikan hal-hal sebagai berikut. Bahwa yang dimaksud dengan alasan-alasan yang mendesak yang dijadikan dasar permohonan dianataranya adalah apabila anak perempuan yang dimohonkan DK tersebut telah hamil/ dihamili oleh calon suaminya, dengan bukti-bukti dari Surat Dokter yang memeriksanya dan juga kesaksian pengakuan dari Calon Suaminya yang telah menghamili, alasan mendesak lainnya yaitu kekhawatiran akan terjadi perzinahan atau perbuatan maksiat/ pergaulan bebas jika anak tersebut tidak dinikahkan dengan calon suami atau istrinya.
- Ada hal yang baru yang harus ditempuh para pihak atau kuasa hukumnya untuk mengajukan Permohonan DK ke Pengadilan seperti yang termuat dengan Perma No. 5 Tahun 2019 yang telah resmi dijadikan salah satu hukum acara dalam pemeriksaan perkara Dispensasi Kawin tersebut para pihak berperkara maupun para praktisi hukum/ advokad sebagaian besar belum tahu tata cara baru pelaksanaan pasal 15 Perma No. 5 Tahun 2019. Hal yang baru tersebut diwajibkannya para pihak atau kuasa hukumnya dalam permohonan DK harus melengkapi syarat formil dan materiil Prosedur para pihak atau Kuasa Hukumnya dalam mengajukan perkara Permohonan DK diwajibkan dahulu mengurus dan memperoleh Surat Rekomendasi untuk calon anak yang mau diajukan DKdarisalahsatulembagaPsikolog/ Dokter/Bidan, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), KPAI/KPAD. Adapun jika lembaga tersebut dalam surat rekomendasinya berisi putusan lembaganya terhadap para pihak semisal bahwa seorang anak yang dimohonkan ijin dispensasi kawin ternyata tidak memperoleh/ mengeluarkan surat rekomendasi untuk menikah dari salah satu atau semua lembaga diatas, bisa jadi Pengadilan akan menolak atau me- NO (niet ontvankelijke verklaard/ tidak dapat diterima)dalam isi penetapannya.
Kesimpulan dan Saran
Bahwa dengan terbitnya dan berlakunya UU No.16 Tahun 2019 serta dijadikannya Perma No. 5 Tahun 2019 ini sebagai salah satu hukum acaranya dalam memeriksa perkara permohonan DK memunculkan kesimpulan-kesimpulan dari fakta-fakta pelaksanaannya diantaranya;
- Dapat disimpulkan bahwa Filosofi serta asas tujuan dari permohonan dispensasi nikah bagi anak yang belum berumur 19 tahun tersebut adalah asas kepentingan terbaik bagi anak, Hak hidup & tumbuh kembang anak, penghargaan atas pendapat anak, penghargaan atas harkat martabat manusia, menghindarkan dari diskriminasi, kesetaraan gender, equal before the law, keadilan,kemanfaatan dan kepastian hukum. Saran penulis agar para praktisi hukum (peradilan ataupun para advokad) dan pengamat hukum (akademisi) serta pembuat regulator dalam hal ini DPR dan Presiden termasuk pejabat eksekutif (kementrian) memasukkan unsur-unsur dan nilai-nilai hukum adat, Hukum kesukuan, Hukum Agama termasuk Fiqih Islam yang nyata-nyata masih diakui dan dipatuhi masyarakat, untuk dapat diakomodir kepentingannya dalam membuat aturan perundangan yang mengatur perkawinan.
- Dapat disimpulkan bahwa Ke-efektifan UU no. 16 Tahun 2019 ini dalam menekan pernikahan anak dibawah umur sebagai tujuan utama dari berlakunya perundangan ini justru membuahkan hasil meningkatnya jumlah perkara Permohonan Dispensasi Kawin (DK) di Pengadilan setelah undang-undang ini berlaku dikarenakan batas usia minimum anak perempuan untuk menikah dari yang semula 16 tahun menjadi 19 tahun adalah sebagai penyebab naiknya jumlah perkara ini baik yang diajukan di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri. Keefektifan UU ini dalam menekan pernikahan anak otomatis berhubungan dengan jumlah perkara Permohonan DK ini yang diputus untuk dikabulkan maupun jumlah putus yang ditolak atau tidak diberikan ijin oleh Pengadilan serta perkara-perkara DK yang kurang syarat materiil sehingga di NO (niet ontvankelijke verklaard/ tidak dapat diterima). Keefektifan berlakunya UU dan perma ini pada sisi lain justru kontra produktif, karena dikhawatirkan untuk daerah-daerah tertentu yang masih tradisional dan masih menggunakan hukum adat dan hukum agama (fiqih Islam) sebagai acuan dalam pernikahan yang memiliki batas minimum usia pernikahan anak yang berbeda-beda sehingga pernikahan anak tersebut tidak diajukan Permohonan DK dipengadilan, akhirnya justru menambah pernikahan tidak tercatat oleh KUA dan atau DISDUKCAPIL setempat karena tidak adanya putusan/penetapan dari Pengadilan. Hal ini juga dikarenakan Hukum Adat termasuk Local Wisdom, Hukum Islam dan hukum Suku/Etnik tertentu juga masih diakui dan digunakan sebagai sumber hukum masyarakat tertentu. Saran penulis seyogyanya masyarakat umun/LSM, para praktisi hukum serta para legislator, pejabat lembaga eksekutif bahkan Pengadilan (yudikatif) dalam upaya mencegah pernikahan anak dibawah umur menyatukan pendapat batasan umur minimum untuk seorang warga negara bisa menikah dengan memperhatikan juga Hukum adat dan Suku, Local Wisdom, Hukum Islam, dikarenakan banyaknya perspektif batasan umur anak dan batasan umur sudah dewasa dimasing-masing lembaga berbeda beda sehingga membuat ambigu batasan minimum seorang warga bisa dikatakan dewasa dan bukan seorang yang dikategorikan masih berumur anak lagi.
- Dapat disimpulkan untuk Perbedaan agama dan keyakinan atas pernikahan anak yang diajukan Permohonan DK ke Pengadilan yang otomatis berbeda kewenangan absolut bahkan bisa jadi berbeda kewenangan Relatifnya pula dari Pengadilan yang menanganinya, menimbulkan ambigu masyarakat khalayak pencari keadilan dikarenakan bukan tidak mungkin terjadi baik dalam satu Pengadilanatau Pengadilan yang berbeda lokasinya karena agama anak yang berbeda dengan calon pasangannya namun dalam satu paket Permohonan DK yaitu baik calon suami dan calon isteri masih dibawah umur 19 tahun dan harus mengajukan bersamaan di satu Pengadilan atau di Pengadilan yang berbeda, karena walaupun dalam satu paket pengajuan Permohonan perkara DK masing-masing harus mendaftar sendiri sehingga memiliki nomor perkara sendiri yang otomatis mempunyai Majelis Hakim yang tidak menutup kemungkinan berbeda pula sehingga dari dua nomor perkara bisa dan sangat mungkin diperiksa oleh majelis yang berbeda pula, apalagi kalau para pihak calon suami dan isteri yang diajukan DK tersebut mendaftar perkaranya tidak pada hari yang sama berjarak berhari-hari atau berbulan. Hal ini bukan tidak mungkin pula bahwa kedua perkara DK tersebut semua dapat dikabulkan oleh majelis yang berbeda, artinya bisa jadi calon isteri ijin DK nya tidak dikabulkan sementara ijin DK dari Calon Suami memperoleh ijin DK dari majelis hakimnya, begitu pula sebaliknya, karena tidak ada seorangpun bisa menjamin suatu perkara Permohonan DK pasti dikabulkan apalagi beda majelis atau bahkan beda Pengadilan karena salah satu calon berbeda agama sehingga ia diperiksa di Pengadilan yang berbeda sesuai agama yang dianutnya. Saran penulis agar para pihak atau kuasa hukumnya dibutuhkan kesadaran untuk mengerti bahwa setiap majelis hakim baik di dalam satu jenis Pengadilan Agama ataupun di Pengadilan Negeri bisa menolak atau tidak memberikan ijin DK berdasarkan pertimbangan majelis hakim Tunggal. Jadi para pihak atau kuasa hukumnya diharapkan mengerti apabila dalam satu paket perkara permohonan DK baik calon suami dan calon isteri masih dibawah 19 tahun harus diajukan terpisah yang akibatnya berbeda majelis hakim yang memeriksanya dan bukan tidak mungkin putusan/penetapannya semua dikabulkan, bisa jadi perkara DK dari salah satu calon pengantin tadi tidak dikabulkan ataupun di N.O., hal yang sangat mungkin juga bisa terjadi apabila permohonan DK yang berbeda agama, tidak hanya berbeda majelis hakim namun juga beda Pengadilan. Oleh karena itu disarankan kepada para pihak atau kuasa hukum memahami dan tidak ambigu lagi jika ada perbedaan putusan/penetapan. Dalam hal ini penulis juga menyarankan apabila mengalami perkara permohonan DK ini dalam putusan pengadilan menolak dan atau tidak memberikan ijin DK maka para pihak atau kuasa hukumnya masih dapat menempuh upaya hukum yaitu Kasasi (bukan banding).
- Dapat disimpulkan bahwa sebagian masyarakat umum atau praktisi hukum belum sepenuhnya mendapatkan kejelasan tentang urgensi alasan-alasan yang sangat mendesak apa saja yang dapat dimuat dalam fundamentum petendi (posita) sehingga para pihak atau kuasa hukumnya dalam membuat petitumnya bersifat permintaan atau permohonan (deklaratif) dijadikan pertimbangan hakim untuk dikabulkannya suatu Permohonan Ijin Dispensasi Kawin. Dalam artikel ini penulis baru bisa menyimpulkan bahwa yang menjadi alasan-alasan yang mendesak suatu perkara Permohonan DK dapat diajukan menurut Penjelasan Pasal 7 ayat 2 UU No.16 Tahun 2019 memang tidak disebutkan secara terperinci meskipun ini sudah dalam penjelasan Pasal 7 ayat 2 UU No. 16 Tahun 2019 tersebut, namun berdasarkan pengalaman penulis sebagai seorang praktisi hukum telah mengamati dan ingin menyampaikan hal-hal sebagai berikut; bahwa yang dimaksud dengan alasan-alasan yang mendesak yang dijadikan dasar permohonan dianataranya adalah apabila anak perempuan yang dimohonkan DK tersebut telah hamil/ dihamili oleh calon suaminya, dengan bukti-bukti dari Surat Dokter yang memeriksanya dan juga kesaksian pengakuan dari Calon Suaminya yang telah menghamili, alasan mendesak lainnya yaitu kekhawatiran akan terjadi perzinahan atau perbuatan maksiat/ pergaulan bebas jika anak tersebut tidak dinikahkan dengan calon suami atau istrinya. Saran penulis kepada para praktisi hukum dan pejabat pembuat regulasi termasuk Mahkamah Agung agar memberikan definisi yang kongkrit dan jelas beserta contoh alasan-alasan mendesak apa saja yang bisa sebagai dasar permohonan DK dan perlu dimasukkan dalam penjelasan Pasal 7 ayat 2 UU No. 16 Tahuun 2019 sehingga para pencari keadilan dapat mengkalkulasikan dan menyiapkan prosedur sehingga pada saat persidangan telah siap dengan materi Permohonannya terutama dalam alasan dalam posita para Pemohon.
- Dapat disimpulkan ada beberapa prosedur yang baru dari pengajuan Perkara Permohonan DK ini di Pengadilan yang harus ditempuh para pihak atau kuasa hukumnya untuk mengajukan Permohonan DK ke Pengadilan seperti yang termuat dalam UU no. 16 Tahun 2109 serta Perma No. 5 Tahun 2019 yang telah resmi dijadikan salah satu hukum acara dalam pemeriksaan perkara Dispensasi Kawin tersebut, diantaranya adalah adanya prosedur baru para pihak berperkara maupun para praktisi hukum/ advokad tersebut diwajibkannya para pihak atau kuasa hukumnya dalam permohonan DK harus melengkapi syarat formil dan materiil Prosedur para pihak atau Kuasa Hukumnya dalam mengajukan perkara Permohonan DK diwajibkan dahulu mengurus dan memperoleh Surat Rekomendasi untuk calon anak yang mau diajukan DK dari salah satu lembaga Psikolog/ Dokter/Bidan, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), KPAI/KPAD. Adapaun jika lembaga tersebut dalam surat rekomendasinya berisi keputusan lembaganya terhadap para pihak semisal bahwa seorang anak yang dimohonkan ijin dispensasi kawin ternyata tidak mendapat rekomendasiuntuk menikah dari salah satu atau semua lembaga diatas, bisa jadi Pengadilan akan menolak bahkan me- NO(niet ontvankelijke verklaard/ tidak dapat diterima) dalam isi penetapannya. Saran penulis, karena semakin bertambahnya prosedur yang harus ditempuh oleh para pihak atau kuasa hukumnya dalam mengajukan Permohonan DK yang harus mendapatkan rekomendasi dari berbagai lembaga tersebut diatas maka disarankan kepada lembaga-lembaga yang mengeluarkan rekomendasi diatas juga harus mengerti dan mempertimbangkan hukum adat dan hukum Islam yang juga masih diakui dan dilaksanakan sebagain masyarakat dari dulu hingga kini, artinya bahwa lembaga-lembaga yang mengeluarkan rekomendasi tersebut jangan skeptis membatasi pertimbangannya dalam memberikan rekomendasi terhadap hal-hal yang bertumpu pada hukum positif semata. Seyogyanya kembali pada kepentingan anak yang terbaik, apabila antara anak yang akan dimohonkan Ijin DK ke Pengadilan tersebut sudah sama-sama saling mencintai dan tanpa paksaan dari pihak manapun serta telah mendapatkan restu dari kedua orang tuanya masing-masing dan tiada hukum Fiqih Islam (bagi anak yang beragama islam) maka cukuplah memberikan rekomendasi untuk menikah bagi anak tersebut, selanjutnya biarlah Pengadilan yang akan memeriksa, mengadili dan memtuskan diijinkan permohonan DK nya atau tidak. Disarankan kepada lembaga-lembaga yang memberikan rekomendasi tadi tidak mempersulit atau bahkan misalnya menjadikan surat rekomendasi yang ia terbitkan seakan akan berfungsi “mengadili” anak tersebut untuk tidak bisa menikah karena belum berusia 19 tahun semata. Biarlah sesuai alurnya yang mengadili dan memutuskan suatu perkara permohonan DK adalah Pengadilan sebagai lembaga Yudikatif.
Penutup
Artikel ini hanyalah salah satu bentuk karya ilmiah yang tentu saja membuka diskusi pro dan kontra. Karena artikel ini adalah salah satu karya ilmiah yang syarat juga dengan opini subyektif dari penulis, maka saran-saran, koreksi, kritik yang membangun, atau bahkan bantahan ilmiah adalah sah untuk disampaikan kepada penulis. Sampaikan hal-hal tersebut melalui email penulis; This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.">This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it..
Atau bisa dikirim melalui format pdf ke WA penulis di nomor 0813 339 78 339
Atas perhatiannya penulis mengucapkan banyak terimakasih, Semoga Alloh SWT, Tuhan semesta alam melindungi kita semua, aamiien.
----------------------SELESAI---------------------------
Perundang-Undangan:
Pasal 49 huruf (a) Undang-undangNomor 3 Tahun 2006 tentangPeradilan Agama (PerubahanpertamaUndang-undangNomor 7 Tahun 1989),
Undang-undangNomor 50 Tahun 2009 tentangPeradilan Agama (PerubahankeduaUndang-undangNomor 7 Tahun 1989).
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan.
Undang-undang No. 16 Tahun 2019 tentangDispensasiKawinDalamHukumKeluargaperubahanUndang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Perma No. 5 Tahun 2019 tentangPedomanMengadiliPermohonanDispensasiKawin;